Pustakawan Kota Sukabumi Siap Jadi Garda Depan Literasi Kritis!

Pustakawan hingga pegiat literasi Kota Sukabumi berkumpul di Ruang Rapat Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Sukabumi pada Selasa pagi, 25 November 2025. Melalui kegiatan Bimbingan Teknis Literasi Informasi bertema “Membangun Budaya Literasi Informasi untuk Masyarakat Kota Sukabumi Cerdas dan Literat”, mereka datang untuk menguatkan “imun” pengetahuan di tengah derasnya arus informasi digital.

Dalam acara pembukaan, Kepala Bidang Perpustakaan dan Pembudayaan Gemar Membaca (PPGM) Ibu Dinar Nuraeni Kuraesin menegaskan pentingnya menjadikan era digital sebagai ruang untuk terus menambah pengetahuan, bukan sekadar konsumsi hiburan. Ia mengajak peserta mengikuti bimtek dengan sungguh-sungguh agar mampu memanfaatkan teknologi untuk kemajuan literasi masyarakat Sukabumi. 

Defira NC, Program & Community Manager ICT Watch sekaligus Ketua Relawan TIK Kota Sukabumi membawa peserta masuk ke dunia literasi digital dan pentingnya berpikir kritis. Ia menyampaikan bahwa gawai bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi ruang hidup kedua yang sangat memengaruhi cara kita berpikir, bekerja, dan berinteraksi.

Internet menghadirkan banyak contoh positif, seperti guru yang viral karena cara mengajarnya yang kreatif, wirausaha kecil yang naik kelas lewat jualan online, hingga gerakan sosial yang tumbuh dari media sosial. Namun di sisi lain, Defira mengingatkan sisi gelapnya, seperti cyberbullying, konten berbahaya, doomscrolling yang memicu kecemasan, hingga judi online. 

Mengacu pada rujukan nasional literasi digital, Defira mengajak peserta mengenal empat pilar literasi digital CABE (Cakap digital, Aman Digital, Budaya digital, dan Etika digital). 


Terjebak Filter Bubble dan Post-Truth Era

Sesi Defira menjadi semakin menarik ketika ia menjelaskan bagaimana algoritma media sosial bekerja. Konten yang sering kita sukai dan komentari akan “dipelajari” oleh platform, lalu kita disuguhi konten serupa terus-menerus.

Akibatnya, kita hidup dalam filter bubble dan echo chamber, di mana kita merasa semua orang setuju dengan pendapat kita, padahal kita hanya melihat potongan kecil dari realitas. Inilah pintu masuk menuju era post-truth, di mana opini sering kali lebih dipercaya ketimbang fakta, dan emosi lebih dominan daripada data. 

Di tengah situasi seperti ini, kemampuan berpikir kritis bukan lagi opsi, melainkan kebutuhan dasar.


Jejak Digital Tak Pernah Benar-Benar Hilang

Satu lagi hal penting yang ia tekankan adalah jejak digital. Sekali sesuatu diposting ke internet, sangat sulit benar-benar menghapusnya. Tangkapan layar, arsip, dan fitur “forward” membuat konten bisa terus menyebar meski kita sudah menghapusnya dari akun pribadi.

Karena itu, ia mengajak peserta, terutama pegiat literasi yang menjadi panutan di komunitas untuk berhati-hati sebelum mengunggah sesuatu. “Bayangkan suatu hari nanti, unggahan itu dilihat calon atasan, calon dosen, atau calon mitra kerja. Apakah kita masih bangga dengan apa yang pernah kita tulis?”


Pegiat Literasi sebagai Garda Depan

Bimtek hari itu mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tetapi pesannya jauh melampaui ruang pertemuan. Bahwa literasi informasi dan literasi digital bukan sekadar teori, melainkan keterampilan hidup yang harus terus diasah.

Di tangan para pustakawan dan pegiat komunitas Sukabumi, harapan itu terasa nyata, yakni mewujudkan masyarakat kota yang bukan hanya terkoneksi internet, tetapi juga cerdas, kritis, dan literat!


Comments